Selasa, 06 Desember 2016

filsafat pendidikan progresivisme dan perenialisme



KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat ALLAH SWT karena atas rahmat dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Filsafat Pendidikan Progresivisme dan Parenialisme”.
            Dalam pembuatan makalah ini kami tak luput dari bantuan berbagai pihak yaitu dosen Mata Kuliah Filsafat Pendidikan selaku pembimbing kami yang tak bosan-bosannya memberikan penjelasan. Kepada teman-teman seangkatan yaitu angkatan 2016 di Pasca Sarjana Universitas Tadulako yang selalu memberi dukungan dan sarannya dalam menyelesaikan makalah ini dengan segenap tenaga dan pikiran yang telah dicurahkan. Dan pada akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
            Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan. Dan dari para pembaca sangat diharapkan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini, akhirnya diucapkan trimakasih.

                                                                                                Palu,    Oktober   2016
                                                                                                            TTD


                                                                                                      Kelompok 3



DAFTAR ISI

                                      



BAB I PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Pendidikan dalam arti luas adalah suatu proses untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, yang mencakup pengetahuannya, nilai dan sikapnya, serta ketrampilannya. Pendidikan ada untuk mencapai kepribadian individu yang lebih baik. Pendidikan pada hakikatnya akan mencakup kegiatan mendidik, mengajar dan melatih. Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai suatu usaha untuk mentrasnformasikan nilai-nilai (Sadulloh, 2007).
 Filsafat diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang sangat mendalam sampai ke akar-akarnya. Dalam pengertian lain, filsafat diartikan sebagai interpretasi atau evaluasi terhadap apa yang penting atau apa yang berarti dalam kehidupan. Berfilsafat berarti berfikir, tetapi tidak semua berpikir dapat dikategorikan berfilsafat. Berfikir yang dikategorikan berfilsafat adalah apabila berpikir tersebut mengandung tiga ciri, yaitu radikal, sistematis dan universal (Sadulloh, 2007).
Masalah pendidikan tidak dapat dipecahkan keseluruhannya hanya dengan mempergunakan metode ilmiah semata, akan tetapi untuk memecahkan masalah pendidikan seseorang harus menggunakan analisis filsafat (Nanuru, 2013).
Kedudukan filsafat dalam pendidikan adalah suatu hal yang sangat asasi sekaligus strategis. Asasi, karena filsafat merupakan suatu dasar atau landasan dalam pembentukan ide atau asumsi-asumsi dasar dalam menentukan, persepsi dasar, prinsip dan tujuan asasi pendidikan. Stategis, karena dengan filsafat tersebut akan sangat ditentukan terhadap arah, warna sekaligus corak dari pendidikan yang akan dilaksanakan. Tanpa asas atau landasan filsafat, pendidikan akan rapuh, goyah dan tidak jelas arah dan tujuannya.
Ada banyak corak dan ragam filsafat yang dapat mendasari pendidikan dengan berbagai ide, gagasan dan kritiknya. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai jenis filsafat tersebut yang diantaranya adalah filsafat pendidikan progresivisme dan perenialisme.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas permasalahan yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan filsafat pendidikan progresivisme dan perenialisme?
2.      Apa latar belakang lahirnya filsafat pendidikan progresivisme dan perenialisme?
3.      Siapa sajakah tokoh-tokoh filsafat pendidikan progresivisme dan perenialisme serta bagaimana pandangan mereka?
4.      Bagaimana pendidikan menurut filsafat pendidikan progresivisme dan perenialisme?

C.    Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada pembaca mengenai pengertian, latar belakang lahirnya, tokoh-tokoh dan pendidikan dari filsafat pendidikan progresivisme dan perenialisme.



BAB II ISI


A.    Pengertian

a.      Filsafat pendidikan progresivisme
Progresivisme merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika Serikat sekitar abad ke-20. Jhon S Brubacher, mengatakan bahwa filsafat progresivisme bermuara pada aliran pragmatisme yang diperkenalkan oleh William James (1842-1910) dan Jhon Dewey (1959-1952), yang menitik beratkan segi “manfaat bagi hidup praktis.”
Filsafat progresivisme menuntut pada pengikutnya untuk selalu progress (maju) bertindak secara konsttruktif, inovatif dan reformatif, aktif dan dinamis. Sebab sudah menjadi naluri manusia selalu menginginkan perubahan-perubahan. Untuk mendapatkan perubahan itu manusia harus memiliki pandangan hidup dimana pandangan hidup yang bertumpu pada sifat-sifat, fleksibilitas (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh doktrin tertentu), Curious (ingin mengetahui dan menyelidiki), toleran dan open minded (punya hati tebuka).
b.      Filsafat pendidikan perenialisme
Istilah perenialisme berasal dari bahasa latin, yaitu dari akar kata perenis atau perenial (bahasa Inggris) yang berarti tumbuh terus melalui waktu, hidup terus dari waktu ke waktu atau abadi. Maka pandangan perenialisme selalu mempercayai mengenai adanya nilai-nilai, norma-norma yang bersifat abadi dalam kehidupan ini. Atas dasar itu perenialis memandang pola perkembangan kebudayaan sepanjang zaman adalah sebagai pengulangan dari apa yang ada sebelumnya sehingga perenialisme sering disebut sebagai dengan istilah “tradisionalisme”.
Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi dan solusi terhadap pendidikan progresif dan atas terjadinya suatu keadaan yang mereka sebut sebagai proses kebudayaan dalam kehidupan manusia modern. Perenialisme menentang pandangan progresifisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan mundur, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh pada zaman kuno, dan abad pertengahan.
Kaum perenialis melawan kegagalan-kegagalan dan tragedi-tragedi dalam abad modern ini dengan mundur kembali kepada kepercayaan-kepercayaan yang aksiomatis, yang telah teruji tangguh, baik mengenai hakikat realitas, pengetahuan, maupun nilai, yang telah memberi dasar fundamental bagi abad-abad sebelumnya.
Perenialisme mempunyai kesamaan dengan esensialisme dalam hal menentang progresivisme, tetapi perenialisme juga memiliki perbedaan dengan esensialisme antara lain dalam hal prinsip perenialisme yang religius (tyheologis), yang berorientasi pada agama. Dikatakan demikian, sebab sekalipun ada perenialist yang sekuler, namun mereka merupakan minoritas dalam Perenialisme.

B.     Latar belakang lahirnya filsafat pendidikan progresivisme dan perenialisme

a.      Filsafat pendidikan progresivisme
Progresivisme bukan merupakan suatu bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan yang didirikan pada tahun 1918. Selama dua puluh tahunan merupakan suatu gerakan yang kuat di Amerika Serikat. Banyak guru yang ragu-ragu pada gerakan ini, karen aguru telah mempelajari dan memahami filsafat Dewey, sebagai reaksi terhadapfilsafat lainnya. Kaum progresif sendiri mengkritik filsafat Dewey. Perubahan masyarakat yang dilontarkan oleh Dewey adalah perubahan secara evolusi, sedangkan kaum progresif mengharapkan perubahan yang sangat cepat, agar lebih cepat mencapai tujuan.
Gerakan progresif terkenal luas karena reaksinya terhadap formalime dan sekolah tradisional yang membosankan, yang menekankan disiplin keras, belajar pasif, dan banyak hal-hal kecil yang tidak bermanfaat dalam pendidikan. Lebih lanjut gerakan ini dikenal karena dengan imbauannya kepada guru-guru : “Kami mengharapkan perubahan serta kemajuan yang lebih cepat setelah perang dunia pertama”. Banyak guru yang mendukungnya sebab gerakan pendidikan progresivisme merupakan semacam kendaraan muthakir, untuk digelarkan.
b.      Filsafat pendidikan perenialisme
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir menjadi suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru.
Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh dengan kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosiokultural. Oleh karena itu, perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat, dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini antara lain adalah Robert Maynard Hutchins dan Mortimer Adler.
Di Amerika, misalnya, penekanan pendidikan pada subjek didik, paham kekinian, dan penyesuaian hidup telah membuat manusia terkendalikan oleh hal-hal yang bersifat pragmatis dan temporal. Hidup kemudian bergerak menjadi patahan-patahan kesadaran yang berlangsung dengan  begitu pendek dan singkat. Menurut para perenialis, progresivisme telah membawa manusia pada pola kehidupan dangkal dan bersifat remeh. Manusia semakin jauh dari penghayatan-penghayatan nilai hidup yang subtil dan mendalam.
Robert Maynard Hutchins dan Mortimer Adler yang menggulirkan kampanye mereka dari Universitas Chicago, tempat Hutchins menjabat sebagai rektor pada 1929 di usia ketiga puluh tahun. Pada waktu itu, keduanya adalah dosen muda yang aktif dan juga penulis produktif yang berjuang membuat opini publik agar sejalan dengan perenialisme selama lebih dari empat puluh tahun.
Hutchins dan Adler telah memberikan pengaruh yang besar bagi kalangan perenialis ketika mereka bekerja mengedit karangan yang dikenal sebagai Great Books of Western World. Kumpulan karangan itu memuat seratus tulisan tentang dunia Barat yang berisi ide-ide pemikiran terbaik. Pemikiran pendidikan ini secara murni diimplementasikan di perguruan tinggi St. John di Annapolis, Marland, ketika Presiden Stringfellow Barr menjadikan karya besar tersebut sebagai referensi utama tingkat sarjana.
Perenialisme pada dasarnya berakar pada pemikiran neoskolastik. Oleh karena itu, ia cenderung bersifat aristotelian. Meski di Amerika, perenialisme umumnya dikembangkan dalam pendidikan sekuler, bersamaan ketika pemikiran Thomas Aquino tereksplorasi secara berlimpah ke dalam berbagai sekolah dan perguruan tinggi. John Maritain termasuk di dalamnya yang kemudian mengembangkan perenialisme dalam konteks khusus pengembangan pendidikan yang bersifat gerejawi.

C.    Tokoh-tokoh filsafat pendidikan progresivisme dan perenialisme

a.      Filsafat pendidikan progresivisme
1.      William James (11 Januari 1842 – 26 Agustus 1910)
James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku.
2.      John Dewey (1859 – 1952)
John Dewey dalam mengemukakan teorinya berangkat dari filsafat pragmatisme yang diukur dengan setandar rasional. Teori Dewey tentang sekolah adalah “Progressivism” yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah “Child Centered Curiculum”, dan “Child Centered School”. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas
3.      Hans Vaihinger (1852 – 1933)
Hans Vaihinger, menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan; satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya (dalam bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia. Segala pengertian itu sebenarnya buatan semata-mata. Jika pengertian itu berguna. untuk menguasai dunia, bolehlah dianggap benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali kekeliruan yang berguna saja.
b.      Filsafat pendidikan perenialisme
1.      Plato
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian, yaitu filsafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral merupakan sofisme adalah manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral, tidak ada kepastian dalam kebenaran, tergantung pada masing-masing individu. Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah. Realitas atau kenyataan-kenyataan itu tidak ada pada diri manusia sejak dari asalnya, yang berasal dari realitas yang hakiki. Menurut Plato, “dunia ideal”, bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran, pengetahuan, dan nilai sudah ada sebelum manusia lahir yang semuanya bersumber dari ide yang mutlak tadi. Manusia tidak mengusahakan dalam arti menciptakan kebenaran, pengetahuan, dan nilai moral, melainkan bagaimana manusia menemukan semuanya itu. Dengan menggunakan akal dan rasio, semuanya itu dapat ditemukan kembali oleh manusia.
Kebenaran itu ada, yaitu kebenaran yang bulat dan utuh. Manusia dapat memperoleh kebenaran tersebut dengan jalan berpikir, bukan dengan pengamatan indera, karena dengan berpikir itulah manusia dapat mengetahui hakikat kebenaran dan pengetahuan. Dengan indera, manusia hanya sampai pada memperkirakan. Manusia hendaknya memikirkan, menyelidiki dan mempelajari dirinya sendiri dan keseluruhan alam semesta.
Esensi realitas, pengetahuan dan nilai merupakan manifestasi dari hukum universal yang abadi dan sempurna, ide mutlak yang supernatural. Ketertiban sosial hanya akan mungkin apabila ide tersebut dijadikan standar atau dijadikan asas normative dalam segala aspek kehidupan. Tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar akan asas normative tersebut dan melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan.
Masyarakat yang ideal masyarakat adil sejahtera. Masyarakat  ini lahir apabila setiap warga negara melaksanakan fungsi sosialnya sesuai dengan tingkat kedudukan dan kemampuan pribadinya. Manusia yang terbaik adalah manusia yang hidup atas dasar prinsip “Idea mutlak”. Ide mutlak inilah yang membimbing manusia untuk menemukan kriteria moral, politik dan sosial serta keadilan. Ide mutla adalah suatu prinsip mutlak yang menjadi sumber realitas semesta dan hakikat kebenaran abadi yang transcendental. Ide mutlak adalah pencipta alam semesta, yaitu Tuhan.
2.      Aritoteles
Aritoteles (384-322 SM), adalah murid Plato, namun dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realism (realism klasik). Cara berfikir Arithoteles berbeda dengan gurunya, Plato, yang menekankan berfikir rasional spekulatif. Arithoteles mengambil cara berfikir rasional empiris realitas. Ia mengajarkan cara berfikir atas prinsip realitas, yang lebih dekat dengan alam kehidupan manusia sehari-hari.
Arithoteles hidup pada abad keempat sebelum Masehi, namun ia dinyatakan sebagai pemikir abad pertengahan. Karya-karya Arithoteles merupakan dasar berfikir abad pertengahan yang melahirkan renaissance. Sikap positifnya terhadap inkuiry menyebabkan ia mendapat sebutan sebagai Bapak Sains Modern. Kebajikan akan menghasilkan kabahagiaan dan kebajikan, bukanlah pernyataan pemikiran atau perenuangan pasif, melainkan merupakan sikap kemauan yang baik dari manusia.
Menurut Arithoteles manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai makhluk rohani manusia sadar akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada manusia ideal, manusia sempurna. Manusia sebagai hewan rasional memiliki kesadaran intelektual dan spiritual, ia hidup dalam alam materi sehingga akan menuju pada derajat yang lebih tinggi, yaitu kehidupan yang abadi, alam supernatural.
3.     Thomas Aquina
Thomas Aquina mencoba mempertemukan suatu  pertentangan yang muncul pada waktu itu, yaitu antara ajaran Kristen dengan filsafat (sebetulnya dengan filsafat Aritoteles, sebab pada waktu itu yang dijadikan dasar pemikiran logis adalah filsafat neoplatonisme dari Plotinus yang dikembangkan oleh St. Agustinus. Menurut Aquina, tidak terdapat pertentangan antara filsafat (khususnya filsafat Aristoteles) dengan ajaran agama (Kristen). Keduanya dapat berjalan dalam lapangannya masing-masing. Thomas Aquina secara terus menerus dan tanpa ragu-ragu mendasarkan filsafatnya kepada filsafat Aristoteles.
Menurut Bertens (1979) pandangan tentang realitas, ia mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang ada, adanya itu karena diciptekan oleh Tuhan, dan tergantung kepada-Nya. Ia mempertahankan bahwa Tuhan, bebas dalam menciptakan dunia. Dunia tidak mengalir dari Tuhan bagaikan air yang mengalir dari sumbernya, seperti halnya yang dipikirkan oleh filosof neoplatonisme dalam ajaran mereka tentang teori “emanasi”. Thomas aquina menekankan dua hal dalam pemikiran tentang realitannya, yaitu : 1) dunia tidak diadakan dari semacam bahan dasar, dan 2) penciptaan tidak terbatas pada satu saat saja.
Dalam masalah pengetahuan, Thomas Aquina mengemukaan bahwa pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan dunia luar dan oleh akal budi, menjadi pengetahuan. Selain pengetahuan manusia yang bersumber dari wahyu, manusia dapat memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman dan rasionya (di sinilai ia mempertemukan pandangan filsafat idealism, realism, dan ajaran gerejanya). Filsafat Thomas Aquina disebut tomisme. Kadang-kadang orang tidak membedakan antara perenialisme dengan neotonisme. Perenialisme adalah sama dengan neotonisme dalam pendidikan.

D.    Pendidikan menurut filsafat pendidikan progresivisme dan perenialisme

a.      Filsafat pendidikan progresivisme
Progresivisme didasarkan pada keyakinan bahwa pendidikan harus berpusat pada anak (child-centered) bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
1.      Teori dasar
Proses belajar terpusat kepada anak, namun hal ini tidak berarti bahwa anak akan diizinkan untuk mengikuti semua keinginannya, karena ia belum cukup matang untuk menentukan yang memadai. Anak memang banyak berbuat dalam menentukan proses belajar, namun ia bukan penentu akhir. Siswa membutuhkan bimbingan dan arahan dari guru dalam melaksanakan aktivitasnya.
Pengalaman anak adalah rekonstruksi yang terus-menerus dari keinginan dan kepentingan pribadi. Mereka aktif bergerak untuk mendapatkan isi mata pelajaran yang logis. Guru mempengaruhi pertumbuhan siswa tidak denga menjejalkan informasi ke dalam kepala anak, melainkan dengan pengawasan lingkungan dimana pendidikan berlangsung.
Guru harus menolong siswa dalam menentukan dan memilih masalah-masalah yang bermakna, menemukan sumber-sumber data yang relevan, menafsirkan dan menilai akurasi data, serta merumuskan kesimpulan. Guru harus mampu mengenali siswa, terutama pada saat apakah ia memerlukan bantuan khusus dalam suatu kegiatan, sehingga ia dapat meneruskan penelitiannya. Guru dituntut untuk sabar, fleksibel, berfikir interdisipliner, kreatif dan cerdas.
Pengetahuan menurut pandangan progresif merupakan alat untuk mengatur pengalaman, untuk menangani situasi baru secara terus menerus, dimana perubahan hidup merupakan tantangan di hadapan manusia. Manusia harus dapat berbuat dengan pengetahuan harus bersumber pada pengalaman. Menurut Dewey kita harus mempelajari apa saja dari sains eksperimental. Penelusuran pengetahuan abstrak harus diartikan ke dalam pengalaman pendidikan yang aktif.
2.      Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan adalah memberikan ketrampilan dan alat-alat yang bermanfaatn untuk berinteraksi dengan lingkungan yang berada dalam proses perubahan secara terus menerus. Yang dimaksud dengan alat-alat adalah ketrampilan pemecahan masalah (problem solving) yang dapat digunakan oleh individu untuk menentukan, menganalisa dan memecahkan maslah. Proses belajar terpusatkan pada perilaku cooperative dan disiplin diri. Dimana kebudayaan sangat dibutuhkan dan sangat berfungsi dalam mesyarakat.
3.      Kurikulum
Kurikulum disusun sekitar pengalaman siswa, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman sosial. Sains sosial sering dijadikan pusat pelajaran yang digunakan dalam pengalaman-pengalaman siswa, dan dalam pemecahan masalah serta dalam kegiatan proyek. Pemecahan masalah akan melibatkan kemampuan berkomunikasi, proses matematis dan penelitian ilmiah. Oleh karena itu, kurikulum seharusnya menggunakan pendekatan interdisipliner. Buku merupakan alat dalam proses belajar, bukan sumber pengetahuan. Metode yang dipergunakan adalah metode ilmiah dalam inkuiri dan metode problem solving.
4.      Prinsip pendidikan
Secara umum menurut Kneller (1971) terdapat beberapa prinsip pendidikan menurut pandangan progresivisme:
a.       Pendidikan adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup.
b.      Pendidikan harus berhubungan secara langsung dengan minat anak, minat individu, yang dijadikan sebagai dasar motivasi belajar.
c.       Belajar melalui pemecahan masalah akan menjadi presenden terhadap pemberian subject matter.
d.      Peranan guru tidak langsung melainkan memberi petunjuk kepada siswa.
e.       Sekolah harus memberi semangat bekerja sama, bukan mengembangkan persaingan.
f.       Kehidupan yang demokratsi merupakan kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan.
5.      Metode pendidikan
Metode pendidikan yang biasanya dipergunakan oleh aliran progresivisme diantaranya adalah :
a.       Metode pendidikan aktif.
b.      Metode memonitor kegiatan belajar.
c.       Metode Penelitian ilmiah.
d.      Pemerintahan pelajar.
e.       Kerjasama sekolah dengan keluarga.
f.       Sekolah sebagai laboratorium pembaharuan pendidikan.
6.      Potret guru progresif
Guru sebanyak mungkin membawa pengetahuan buku teks pada kehidupan dengan memberi siswa pengalaman yang tepat seperti simulasi, kunjungan lapangan, proyek kecil, bermain peran, eksplorasi internet dan sebagainya. Fungsi pokok seorang guru adalah mempersiapkan para siswanya untuk masa depan yang tidak dikenal. Ia merasa bahwa belajar memecahkan permasalahan pada usia dini adalah persiapan terbaik untuk masa depan ini.
b.      Filsafat pendidikan perenialisme
Kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan, serta membayangkan yang ditimbulkan akibat terjadinya krisis di berbagai dimensi kehidupan manusia (dalam pendidikan khususnya), tidak ada satupun yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan serta kestabilan dalam perilaku pendidik.
1.      Teori Dasar
Penganut perenialisme sependapat bahwa latihan dan pembinaan berpikir (mental disiplin) merupakan bagian dari salah satu kewajiban tertinggi dalam belajar atau keutamaan dalam proses belajar. Oleh karena itu, teori dan program pendidikan pada umumnya dipusatkan kepada pembinaan kemampuan berpikir dan disiplin. Asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan. Otoritas berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin.
Di sini, makna kemerdekaan pendidikan berarti membantu manusia menjadi dirinya, sebagai essensial self yang berbeda dari spesies manapun. Sementara, fungsi belajar diabadikan guna mendukung aktualitas manusia sebagai makhluk rasional independen.
“Learning to reason” demikian menurut istilah para perenialis. Pendidikan tidak lain ialah belajar dalam berpikir. Perenialisme percaya bahwa asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan anak. Kecakapan membaca, menulis, dan berhitung merupakan landasan dasar. Berdasarkan penahapan itu, learning to reason menjadi hal pokok pendidikan menengah ataupun pendidikan tinggi.
Selain belajar berpikir, pendidikan menurut para perenialis, juga sebagai persiapan hidup. Pandangan ini kerap disandarkan pada pemikiran Thomisme yang menyadari bahwa belajar untuk berpikir dan belajar demi persiapan hidup (dalam masyarakat) adalah dua langkah pada jalan yang sama dalam memperoleh kesempurnaan hidup, baik dunia ataupun surgawi.
2.      Tujuan
Bagi perenialis, nilai-nilai kebenaran bersifat universal dan abadi. Inilah yang menjadi tujuan pendidikan yang sejati. Oleh karena itu, tujuan pendidikan adalah membantu peserta didik menyiapkan dan menginternalisasikan nilai-nillai kebenaran dan kebaikan dalam hidup.
Sekolah adalah sebuah institusi khusus yang berupaya mencapai misi yang amat penting ini. Sekolah tidak terlalu berkepentingan dengan persoalan semacam pekerjaan, hiburan, dan rekreasi manusia. Ketiga hal tersebut mempunyai tempat dalam kehidupan manusia, tetapi berada di luar lingkup aktivitas pendidikan.
Sekolah adalah lembaga yang berperan mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk terjun ke dalam kehidupan. Sekolah bagi perenialis merupakan peraturan-peraturan yang artifisial tempat peserta didik berkenalan dengan hasil yang paling baik dari warisan sosial budaya.
3.      Kurikulum
Kurikulum menurut kaum perenialis harus menekankan pertumbuhan intelektual siswa pada seni dan sains. Untuk menjadi terpelajar secara kultural, para siswa harus berhadapan dengan bidang-bidang seni dan sains yang merupakan karya terbaik dan paling signifikan yang diciptakan oleh manusia.
Kurikulum perenialis Hutchins didasarkan pada tiga asumsi mengenai pendidikan yaitu :
a.       Pendidikan harus mengangkat pencarian kebenaran manusi yang berlangsung terus menerus. Kebenaran apapun akan selalu benar dimana pun juga; pendek kata kebenaran bersifat universal dan tak terikat waktu/
b.      Karena kerja pikiran adalah bersifat intelektual dan memfokuskan pada gagasan-gagasan, pendidikan juga harus memfokuskan pada gagasan-gagasan. Pengolahan rasionalitas manusia adalah fungsi penting pendidikan.
c.       Pendidikan harus menstimulasi para mahasiswa untuk berfikir secara mendalam mengenai gagasab-gagasan signifikan. Para guru harus menggunakan pemikiran yang benar dan kritis seperti metoda pokok mereka, dan mereka harus mensyaratkan hal yang sama pada siswa.
4.      Prinsip pendidikan
Beberapa prinsip pendidikan parenialisme secara umum yaitu :
a.       Walaupun perbedaan lingkungan, namun pada hakikatnya manusia dimana pun dan kapan pun ia berada adalah sama. Robert M.Hutckin sebagai pelopor perenialisme di Amerika Serikat, mengemukakan bahwa manusia pada hakikatnya adalah hewan rasional (ini adalah pandangan Aristoteles). Tujuan pendidikan adalah sama dengan tujuan hidup, yaitu untuk mencapai kebijakan dan kebajikan. Pendidikan harus sama  bagi semua orang, dimana pun dan kapan pun ia berada, begitu pula tujuan pendidikan harus sama, yaitu memperbaiki manusia sebagai manusia.
b.      Rasio merupakan atribut manusia yang paling tinggi. Manusia harus menggunakannya untuk mengarahkan sifat bawaannya, sesuai dengan tujuan yang ditentukan. Manusia adalah bebas, namun mereka harus belajar, untuk memperhalus pikiran dan mengontrol seleranya. Apabila anak gagal dalam belajar, guru tidak boleh dengan cepat meletakkan kesalahan pada lingkungan yang tidak menyenangkan atau pada rangkaian peristiwa psikologis yang tidak menguntungkan. Guru harus mampu mengatasi semua gangguan tersebut dengan melakukan pendekatan secara intelektual yang sama bagi semua siswa. Tidak ada anak yang diizinkan untuk menentukan pengalaman pendidikannya yang ia inginkan.
c.       Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang kebenaran yang pasti dan abadi. Kurikulum diorganisasi dan ditentukan terlebih dahulu oleh orang dewasa dan ditujukan untuk melatih aktivitas akal, untuk mengembangkan akal. Anak harus diberi pelajaran yang pasti, yang akan memperkenalkannya dengan keabadian dunia. Anak  tidak boleh dipaksa untuk memperlajari pelajaran yang tampaknya penting suatu saat saja. Begitu pula kepada anak jangan memberikan pelajaran yang hanya menarik pada saat-saat tertentu yang khusus. Yang dipentingkan dalam kurikulum adalah mata pelajaran “general education”, yang meliputi bahasa, sejarah, matematika, IPA, filsafat dan seni. Mata pelajaran tersebut merupakan esensi dari general education.
d.      Pendidikan bukan merupakan peniruan dari hidup, melainkan merupakan suatu persiapan untuk hidup. Sekolah tidak parnah menjadi situasi kehidupan yang nyata. Sekolah bagi anak merupakan peraturan-peraturan yang artifisial dimana ia berkenalan dengan hasil yang terbaik dari warisan social budaya.
e.       Siswa seharusnya mempelajari karya-karya besar dalam literatur yang menyangkut sejarah, filsafat, seni, begitu juga dalam literature yang berhubungan dengan kehidupan social, terutama politik dan ekonomi. Dalam literatur-literatur tersebut manusia sepanjang masa telah melahirkan hasil yang maha besar.
Dalam pemikiran itu, untuk mengatasi dan mengembalikan keadaan krisis yang terjadi sekarang ini, perenialisme memandang bahwa jalan keluar tidak lain adalah kembali pada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji  ketangguhannya.
Untuk itulah, pendidikan sekarang harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan masa lampau yang ideal serta telah teruji dan tangguh. Dengan kata lain, perenialisme memiliki pandangan yang bertolak (anti-) terhadap modernistik yang telah menjauh dari tradisi (kebiasaan-kebiasaan yang telah teruji ketangguhannya) dan terlalu mengedepankan logika dan rasio modernistik daripada sumber pengetahuan lainnya serta terlalu memandang sesuatu berdasarkan materi (materialistik).
Jelaslah jika dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali pada masa lampau karena dengan mengembalikan keadaan (apa yang ada, apa yang terjadi, serta apa yang menjdi tujuan) pada masa lampau, kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang.
5.      Metode Pendidikan Perenialisme
Metode pendidikan atau metode belajar utama yang digunakan oleh perenialis adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca dan mendiskusikan karya-karya yang tertuang dalam The Greats Book dalam rangka mendisiplinkan pikiran.
Peranan guru bukan sebagai perantara antara dunia anak dan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai “murid” yang mengalami proses belajar sementara mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi self discovery. Ia juga melakukan moral authority (otoritas moral) atas murid-muridnya karena ia seorang profesional dan qualified dan superior dibandingkan dengan muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih, dan pengetahuan yang sempurna.
6.      Potret guru
Kerap dikatakan bahwa pendidikan tidak lain adalah learning through teaching (belajar melalui pengajaran). Adler membedakan antara learning by instruction dan learning by discovery, penyelidikan tanpa bantuan guru. Sebenarnya, learning by discovery digunakan sebagai pembelajaran diri.

 






BAB III KESIMPULAN


Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.        Progresivisme merupakan aliran filsafat yang bermuara pada aliran pragmatisme yang diperkenalkan oleh William James (1842-1910) dan Jhon Dewey (1959-1952), yang menitik beratkan segi “manfaat bagi hidup praktis”. Filsafat progresivisme menuntut pada pengikutnya untuk selalu progress (maju) bertindak secara konsttruktif, inovatif dan reformatif, aktif dan dinamis.
2.        Istilah perenialisme berasal dari bahasa latin, yaitu dari akar kata perenis atau perenial (bahasa Inggris) yang berarti tumbuh terus melalui waktu, hidup terus dari waktu ke waktu atau abadi. Maka pandangan perenialisme selalu mempercayai mengenai adanya nilai-nilai, norma-norma yang bersifat abadi dalam kehidupan ini. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi dan solusi terhadap pendidikan progresif dan atas terjadinya suatu keadaan yang mereka sebut sebagai proses kebudayaan dalam kehidupan manusia modern.




 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar