KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT karena atas
rahmat dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Filsafat Pendidikan Progresivisme dan
Parenialisme”.
Dalam
pembuatan makalah ini kami tak luput dari bantuan berbagai pihak yaitu dosen
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan selaku pembimbing kami yang tak bosan-bosannya
memberikan penjelasan. Kepada teman-teman seangkatan yaitu angkatan 2016 di Pasca
Sarjana Universitas Tadulako yang selalu memberi dukungan dan sarannya dalam menyelesaikan
makalah ini dengan segenap tenaga dan pikiran yang telah dicurahkan. Dan pada
akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Kami
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan. Dan dari para
pembaca sangat diharapkan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini,
akhirnya diucapkan trimakasih.
Palu, Oktober
2016
TTD
Kelompok
3
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan dalam arti luas adalah suatu
proses untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, yang mencakup
pengetahuannya, nilai dan sikapnya, serta ketrampilannya. Pendidikan ada untuk
mencapai kepribadian individu yang lebih baik. Pendidikan pada hakikatnya akan
mencakup kegiatan mendidik, mengajar dan melatih. Kegiatan tersebut
dilaksanakan sebagai suatu usaha untuk mentrasnformasikan nilai-nilai
(Sadulloh, 2007).
Filsafat
diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang sangat mendalam sampai ke
akar-akarnya. Dalam pengertian lain, filsafat diartikan sebagai interpretasi
atau evaluasi terhadap apa yang penting atau apa yang berarti dalam kehidupan.
Berfilsafat berarti berfikir, tetapi tidak semua berpikir dapat dikategorikan
berfilsafat. Berfikir yang dikategorikan berfilsafat adalah apabila berpikir
tersebut mengandung tiga ciri, yaitu radikal, sistematis dan universal
(Sadulloh, 2007).
Masalah pendidikan tidak
dapat dipecahkan keseluruhannya hanya dengan mempergunakan metode ilmiah
semata, akan tetapi untuk memecahkan masalah pendidikan seseorang harus
menggunakan analisis filsafat (Nanuru, 2013).
Kedudukan filsafat dalam pendidikan
adalah suatu hal yang sangat asasi sekaligus strategis. Asasi, karena filsafat
merupakan suatu dasar atau landasan dalam pembentukan ide atau asumsi-asumsi
dasar dalam menentukan, persepsi dasar, prinsip dan tujuan asasi pendidikan.
Stategis, karena dengan filsafat tersebut akan sangat ditentukan terhadap arah,
warna sekaligus corak dari pendidikan yang akan dilaksanakan. Tanpa asas atau
landasan filsafat, pendidikan akan rapuh, goyah dan tidak jelas arah dan
tujuannya.
Ada banyak corak dan ragam filsafat yang
dapat mendasari pendidikan dengan berbagai ide, gagasan dan kritiknya. Oleh
karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai jenis filsafat tersebut yang
diantaranya adalah filsafat pendidikan progresivisme dan perenialisme.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas permasalahan yang dapat
diambil adalah sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud
dengan filsafat pendidikan progresivisme dan perenialisme?
2.
Apa latar belakang
lahirnya filsafat pendidikan progresivisme dan perenialisme?
3.
Siapa sajakah
tokoh-tokoh filsafat pendidikan progresivisme dan perenialisme serta bagaimana
pandangan mereka?
4.
Bagaimana pendidikan menurut filsafat pendidikan progresivisme dan
perenialisme?
C. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada
pembaca mengenai pengertian, latar belakang lahirnya, tokoh-tokoh dan pendidikan
dari filsafat
pendidikan progresivisme dan perenialisme.
BAB II ISI
A. Pengertian
a.
Filsafat
pendidikan progresivisme
Progresivisme
merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika Serikat sekitar abad ke-20.
Jhon S Brubacher, mengatakan bahwa filsafat progresivisme bermuara pada aliran
pragmatisme yang diperkenalkan oleh William James (1842-1910) dan Jhon Dewey
(1959-1952), yang menitik beratkan segi “manfaat bagi hidup praktis.”
Filsafat
progresivisme menuntut pada pengikutnya untuk selalu progress (maju) bertindak
secara konsttruktif, inovatif dan reformatif, aktif dan dinamis. Sebab sudah
menjadi naluri manusia selalu menginginkan perubahan-perubahan. Untuk
mendapatkan perubahan itu manusia harus memiliki pandangan hidup dimana
pandangan hidup yang bertumpu pada sifat-sifat, fleksibilitas (tidak kaku,
tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh doktrin tertentu), Curious (ingin
mengetahui dan menyelidiki), toleran dan open minded (punya hati tebuka).
b.
Filsafat
pendidikan perenialisme
Istilah
perenialisme berasal dari bahasa latin, yaitu dari akar kata perenis atau perenial (bahasa Inggris) yang berarti tumbuh terus melalui waktu,
hidup terus dari waktu ke waktu atau abadi. Maka pandangan perenialisme
selalu
mempercayai mengenai adanya nilai-nilai, norma-norma yang bersifat abadi dalam
kehidupan ini. Atas dasar itu perenialis memandang pola perkembangan kebudayaan
sepanjang zaman adalah sebagai pengulangan dari apa yang ada sebelumnya
sehingga perenialisme sering disebut sebagai dengan istilah “tradisionalisme”.
Perenialisme
lahir sebagai suatu reaksi dan solusi terhadap pendidikan progresif dan atas
terjadinya suatu keadaan yang mereka sebut sebagai proses kebudayaan dalam
kehidupan manusia modern. Perenialisme menentang pandangan progresifisme yang
menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis
adalah dengan jalan mundur, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau
prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh pada
zaman kuno, dan abad pertengahan.
Kaum perenialis
melawan kegagalan-kegagalan dan tragedi-tragedi dalam abad modern ini dengan
mundur kembali kepada kepercayaan-kepercayaan yang aksiomatis, yang telah
teruji tangguh, baik mengenai hakikat realitas, pengetahuan, maupun nilai, yang
telah memberi dasar fundamental bagi abad-abad sebelumnya.
Perenialisme mempunyai
kesamaan dengan esensialisme dalam hal menentang progresivisme, tetapi
perenialisme juga memiliki perbedaan dengan esensialisme antara lain dalam hal
prinsip perenialisme yang religius (tyheologis),
yang berorientasi pada agama. Dikatakan demikian, sebab sekalipun ada
perenialist yang sekuler, namun mereka merupakan minoritas dalam Perenialisme.
B. Latar belakang lahirnya filsafat pendidikan progresivisme dan perenialisme
a. Filsafat pendidikan
progresivisme
Progresivisme
bukan merupakan suatu bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri
sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan yang didirikan pada tahun 1918.
Selama dua puluh tahunan merupakan suatu gerakan yang kuat di Amerika Serikat.
Banyak guru yang ragu-ragu pada gerakan ini, karen aguru telah mempelajari dan
memahami filsafat Dewey, sebagai reaksi terhadapfilsafat lainnya. Kaum
progresif sendiri mengkritik filsafat Dewey. Perubahan masyarakat yang
dilontarkan oleh Dewey adalah perubahan secara evolusi, sedangkan kaum
progresif mengharapkan perubahan yang sangat cepat, agar lebih cepat mencapai
tujuan.
Gerakan
progresif terkenal luas karena reaksinya terhadap formalime dan sekolah
tradisional yang membosankan, yang menekankan disiplin keras, belajar pasif,
dan banyak hal-hal kecil yang tidak bermanfaat dalam pendidikan. Lebih lanjut
gerakan ini dikenal karena dengan imbauannya kepada guru-guru : “Kami
mengharapkan perubahan serta kemajuan yang lebih cepat setelah perang dunia
pertama”. Banyak guru yang mendukungnya sebab gerakan pendidikan progresivisme
merupakan semacam kendaraan muthakir, untuk digelarkan.
b. Filsafat pendidikan
perenialisme
Perenialisme
merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh.
Perenialisme lahir menjadi suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka
menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang
baru.
Perenialisme
memandang situasi dunia dewasa ini penuh dengan kekacauan, ketidakpastian, dan
ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan
sosiokultural. Oleh karena itu, perlu ada usaha untuk mengamankan
ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai
atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat,
dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini antara lain adalah Robert
Maynard Hutchins dan Mortimer Adler.
Di
Amerika, misalnya, penekanan pendidikan pada subjek didik, paham kekinian, dan
penyesuaian hidup telah membuat manusia terkendalikan oleh hal-hal yang
bersifat pragmatis dan temporal. Hidup kemudian bergerak menjadi
patahan-patahan kesadaran yang berlangsung dengan begitu pendek dan singkat. Menurut para
perenialis, progresivisme telah membawa manusia pada pola kehidupan dangkal dan
bersifat remeh. Manusia semakin jauh dari penghayatan-penghayatan nilai hidup
yang subtil dan mendalam.
Robert
Maynard Hutchins dan Mortimer Adler yang menggulirkan kampanye mereka dari
Universitas Chicago, tempat Hutchins menjabat sebagai rektor pada 1929 di usia
ketiga puluh tahun. Pada waktu itu, keduanya adalah dosen muda yang aktif dan
juga penulis produktif yang berjuang membuat opini publik agar sejalan dengan
perenialisme selama lebih dari empat puluh tahun.
Hutchins
dan Adler telah memberikan pengaruh yang besar bagi kalangan perenialis ketika
mereka bekerja mengedit karangan yang dikenal sebagai Great Books of Western World. Kumpulan karangan itu memuat seratus
tulisan tentang dunia Barat yang berisi ide-ide pemikiran terbaik. Pemikiran
pendidikan ini secara murni diimplementasikan di perguruan tinggi St. John di
Annapolis, Marland, ketika Presiden Stringfellow Barr menjadikan karya besar
tersebut sebagai referensi utama tingkat sarjana.
Perenialisme
pada dasarnya berakar pada pemikiran neoskolastik. Oleh karena itu, ia
cenderung bersifat aristotelian. Meski di Amerika, perenialisme umumnya
dikembangkan dalam pendidikan sekuler, bersamaan ketika pemikiran Thomas Aquino tereksplorasi secara
berlimpah ke dalam berbagai sekolah dan perguruan tinggi. John Maritain
termasuk di dalamnya yang kemudian mengembangkan perenialisme dalam konteks
khusus pengembangan pendidikan yang bersifat gerejawi.
C. Tokoh-tokoh filsafat pendidikan progresivisme dan perenialisme
a.
Filsafat
pendidikan progresivisme
1. William James (11 Januari 1842 – 26
Agustus 1910)
James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku.
James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku.
2. John Dewey (1859 – 1952)
John Dewey dalam mengemukakan teorinya berangkat dari filsafat pragmatisme yang diukur dengan setandar rasional. Teori Dewey tentang sekolah adalah “Progressivism” yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah “Child Centered Curiculum”, dan “Child Centered School”. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas
John Dewey dalam mengemukakan teorinya berangkat dari filsafat pragmatisme yang diukur dengan setandar rasional. Teori Dewey tentang sekolah adalah “Progressivism” yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah “Child Centered Curiculum”, dan “Child Centered School”. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas
3. Hans Vaihinger (1852 – 1933)
Hans Vaihinger, menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan; satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya (dalam bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia. Segala pengertian itu sebenarnya buatan semata-mata. Jika pengertian itu berguna. untuk menguasai dunia, bolehlah dianggap benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali kekeliruan yang berguna saja.
Hans Vaihinger, menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan; satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya (dalam bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia. Segala pengertian itu sebenarnya buatan semata-mata. Jika pengertian itu berguna. untuk menguasai dunia, bolehlah dianggap benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali kekeliruan yang berguna saja.
b.
Filsafat
pendidikan perenialisme
1.
Plato
Plato (427-347
SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian, yaitu
filsafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral merupakan sofisme adalah
manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam
moral, tidak ada kepastian dalam kebenaran, tergantung pada masing-masing
individu. Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak
berubah. Realitas atau kenyataan-kenyataan itu tidak ada pada diri manusia
sejak dari asalnya, yang berasal dari realitas yang hakiki. Menurut Plato, “dunia
ideal”, bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran, pengetahuan,
dan nilai sudah ada sebelum manusia lahir yang semuanya bersumber dari ide yang
mutlak tadi. Manusia tidak mengusahakan dalam arti menciptakan kebenaran,
pengetahuan, dan nilai moral, melainkan bagaimana manusia menemukan semuanya
itu. Dengan menggunakan akal dan rasio, semuanya itu dapat ditemukan kembali
oleh manusia.
Kebenaran
itu ada, yaitu kebenaran yang bulat dan utuh. Manusia dapat memperoleh
kebenaran tersebut dengan jalan berpikir, bukan dengan pengamatan indera,
karena dengan berpikir itulah manusia dapat mengetahui hakikat kebenaran dan
pengetahuan. Dengan indera, manusia hanya sampai pada memperkirakan. Manusia
hendaknya memikirkan, menyelidiki dan mempelajari dirinya sendiri dan
keseluruhan alam semesta.
Esensi
realitas, pengetahuan dan nilai merupakan manifestasi dari hukum universal yang
abadi dan sempurna, ide mutlak yang supernatural. Ketertiban sosial hanya akan
mungkin apabila ide tersebut dijadikan standar atau dijadikan asas normative
dalam segala aspek kehidupan. Tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin
yang sadar akan asas normative tersebut dan melaksanakannya dalam semua aspek
kehidupan.
Masyarakat
yang ideal masyarakat adil sejahtera. Masyarakat ini lahir apabila setiap warga negara
melaksanakan fungsi sosialnya sesuai dengan tingkat kedudukan dan kemampuan
pribadinya. Manusia yang terbaik adalah manusia yang hidup atas dasar prinsip “Idea
mutlak”. Ide mutlak inilah yang membimbing manusia untuk menemukan
kriteria moral, politik dan sosial serta keadilan. Ide mutla adalah suatu
prinsip mutlak yang menjadi sumber realitas semesta dan hakikat kebenaran abadi
yang transcendental. Ide mutlak adalah pencipta alam semesta, yaitu Tuhan.
2.
Aritoteles
Aritoteles
(384-322 SM), adalah murid Plato, namun dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap
filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realism
(realism klasik). Cara berfikir Arithoteles berbeda dengan gurunya, Plato, yang
menekankan berfikir rasional spekulatif. Arithoteles mengambil cara berfikir
rasional empiris realitas. Ia mengajarkan cara berfikir atas prinsip realitas,
yang lebih dekat dengan alam kehidupan manusia sehari-hari.
Arithoteles
hidup pada abad keempat sebelum Masehi, namun ia dinyatakan sebagai pemikir
abad pertengahan. Karya-karya Arithoteles merupakan dasar berfikir abad
pertengahan yang melahirkan renaissance. Sikap positifnya terhadap inkuiry
menyebabkan ia mendapat sebutan sebagai Bapak Sains Modern. Kebajikan akan
menghasilkan kabahagiaan dan kebajikan, bukanlah pernyataan pemikiran atau
perenuangan pasif, melainkan merupakan sikap kemauan yang baik dari manusia.
Menurut
Arithoteles manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi,
ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan
sosial. Sebagai makhluk rohani manusia sadar akan menuju pada proses yang lebih
tinggi yang menuju kepada manusia ideal, manusia sempurna. Manusia sebagai
hewan rasional memiliki kesadaran intelektual dan spiritual, ia hidup dalam
alam materi sehingga akan menuju pada derajat yang lebih tinggi, yaitu
kehidupan yang abadi, alam supernatural.
3. Thomas Aquina
Thomas Aquina mencoba
mempertemukan suatu pertentangan yang
muncul pada waktu itu, yaitu antara ajaran Kristen dengan filsafat (sebetulnya
dengan filsafat Aritoteles, sebab pada waktu itu yang dijadikan dasar pemikiran
logis adalah filsafat neoplatonisme dari Plotinus yang dikembangkan oleh St.
Agustinus. Menurut Aquina, tidak terdapat pertentangan antara filsafat
(khususnya filsafat Aristoteles) dengan ajaran agama (Kristen). Keduanya dapat
berjalan dalam lapangannya masing-masing. Thomas Aquina secara terus menerus
dan tanpa ragu-ragu mendasarkan filsafatnya kepada filsafat Aristoteles.
Menurut Bertens (1979)
pandangan tentang realitas, ia mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang ada,
adanya itu karena diciptekan oleh Tuhan, dan tergantung kepada-Nya. Ia
mempertahankan bahwa Tuhan, bebas dalam menciptakan dunia. Dunia tidak mengalir
dari Tuhan bagaikan air yang mengalir dari sumbernya, seperti halnya yang
dipikirkan oleh filosof neoplatonisme dalam ajaran mereka tentang teori “emanasi”. Thomas aquina menekankan dua
hal dalam pemikiran tentang realitannya, yaitu : 1) dunia tidak diadakan dari
semacam bahan dasar, dan 2) penciptaan tidak terbatas pada satu saat saja.
Dalam masalah
pengetahuan, Thomas Aquina mengemukaan bahwa pengetahuan itu diperoleh sebagai
persentuhan dunia luar dan oleh akal budi, menjadi pengetahuan. Selain
pengetahuan manusia yang bersumber dari wahyu, manusia dapat memperoleh
pengetahuan dengan melalui pengalaman dan rasionya (di sinilai ia mempertemukan
pandangan filsafat idealism, realism, dan ajaran gerejanya). Filsafat Thomas
Aquina disebut tomisme. Kadang-kadang orang tidak membedakan antara
perenialisme dengan neotonisme. Perenialisme adalah sama dengan neotonisme
dalam pendidikan.
D. Pendidikan menurut filsafat pendidikan progresivisme dan perenialisme
a.
Filsafat
pendidikan progresivisme
Progresivisme
didasarkan pada keyakinan bahwa pendidikan harus berpusat pada anak
(child-centered) bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
1. Teori
dasar
Proses
belajar terpusat kepada anak, namun hal ini tidak berarti bahwa anak akan
diizinkan untuk mengikuti semua keinginannya, karena ia belum cukup matang
untuk menentukan yang memadai. Anak memang banyak berbuat dalam menentukan
proses belajar, namun ia bukan penentu akhir. Siswa membutuhkan bimbingan dan
arahan dari guru dalam melaksanakan aktivitasnya.
Pengalaman
anak adalah rekonstruksi yang terus-menerus dari keinginan dan kepentingan
pribadi. Mereka aktif bergerak untuk mendapatkan isi mata pelajaran yang logis.
Guru mempengaruhi pertumbuhan siswa tidak denga menjejalkan informasi ke dalam
kepala anak, melainkan dengan pengawasan lingkungan dimana pendidikan
berlangsung.
Guru
harus menolong siswa dalam menentukan dan memilih masalah-masalah yang bermakna,
menemukan sumber-sumber data yang relevan, menafsirkan dan menilai akurasi
data, serta merumuskan kesimpulan. Guru harus mampu mengenali siswa, terutama
pada saat apakah ia memerlukan bantuan khusus dalam suatu kegiatan, sehingga ia
dapat meneruskan penelitiannya. Guru dituntut untuk sabar, fleksibel, berfikir
interdisipliner, kreatif dan cerdas.
Pengetahuan
menurut pandangan progresif merupakan alat untuk mengatur pengalaman, untuk
menangani situasi baru secara terus menerus, dimana perubahan hidup merupakan
tantangan di hadapan manusia. Manusia harus dapat berbuat dengan pengetahuan
harus bersumber pada pengalaman. Menurut Dewey kita harus mempelajari apa saja
dari sains eksperimental. Penelusuran pengetahuan abstrak harus diartikan ke
dalam pengalaman pendidikan yang aktif.
2.
Tujuan
pendidikan
Tujuan
pendidikan adalah memberikan ketrampilan dan alat-alat yang bermanfaatn untuk
berinteraksi dengan lingkungan yang berada dalam proses perubahan secara terus
menerus. Yang dimaksud dengan alat-alat adalah ketrampilan pemecahan masalah
(problem solving) yang dapat digunakan oleh individu untuk menentukan,
menganalisa dan memecahkan maslah. Proses belajar terpusatkan pada perilaku
cooperative dan disiplin diri. Dimana kebudayaan sangat dibutuhkan dan sangat
berfungsi dalam mesyarakat.
3.
Kurikulum
Kurikulum disusun sekitar
pengalaman siswa, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman sosial. Sains
sosial sering dijadikan pusat pelajaran yang digunakan dalam
pengalaman-pengalaman siswa, dan dalam pemecahan masalah serta dalam kegiatan
proyek. Pemecahan masalah akan melibatkan kemampuan berkomunikasi, proses
matematis dan penelitian ilmiah. Oleh karena itu, kurikulum seharusnya
menggunakan pendekatan interdisipliner. Buku merupakan alat dalam proses
belajar, bukan sumber pengetahuan. Metode yang dipergunakan adalah metode
ilmiah dalam inkuiri dan metode problem solving.
4.
Prinsip
pendidikan
Secara
umum menurut Kneller (1971) terdapat beberapa prinsip pendidikan menurut
pandangan progresivisme:
a.
Pendidikan
adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup.
b.
Pendidikan
harus berhubungan secara langsung dengan minat anak, minat individu, yang
dijadikan sebagai dasar motivasi belajar.
c.
Belajar
melalui pemecahan masalah akan menjadi presenden terhadap pemberian subject
matter.
d.
Peranan
guru tidak langsung melainkan memberi petunjuk kepada siswa.
e.
Sekolah
harus memberi semangat bekerja sama, bukan mengembangkan persaingan.
f.
Kehidupan
yang demokratsi merupakan kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan.
5.
Metode
pendidikan
Metode
pendidikan yang biasanya dipergunakan oleh aliran progresivisme diantaranya
adalah :
a.
Metode
pendidikan aktif.
b.
Metode
memonitor kegiatan belajar.
c.
Metode
Penelitian ilmiah.
d.
Pemerintahan
pelajar.
e.
Kerjasama
sekolah dengan keluarga.
f.
Sekolah
sebagai laboratorium pembaharuan pendidikan.
6.
Potret guru
progresif
Guru sebanyak
mungkin membawa pengetahuan buku teks pada kehidupan dengan memberi siswa
pengalaman yang tepat seperti simulasi, kunjungan lapangan, proyek kecil,
bermain peran, eksplorasi internet dan sebagainya. Fungsi pokok seorang guru
adalah mempersiapkan para siswanya untuk masa depan yang tidak dikenal. Ia
merasa bahwa belajar memecahkan permasalahan pada usia dini adalah persiapan
terbaik untuk masa depan ini.
b.
Filsafat
pendidikan perenialisme
Kaum perenialis berpandangan bahwa dalam
dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan, serta membayangkan yang
ditimbulkan akibat terjadinya krisis di berbagai dimensi kehidupan manusia
(dalam pendidikan khususnya), tidak ada satupun yang lebih bermanfaat daripada
kepastian tujuan pendidikan serta kestabilan dalam perilaku pendidik.
1. Teori
Dasar
Penganut
perenialisme sependapat bahwa latihan dan pembinaan berpikir (mental disiplin)
merupakan bagian dari salah satu kewajiban tertinggi dalam belajar atau
keutamaan dalam proses belajar. Oleh karena itu, teori dan program pendidikan
pada umumnya dipusatkan kepada pembinaan kemampuan berpikir dan disiplin. Asas
berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan. Otoritas
berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin.
Di
sini, makna kemerdekaan pendidikan berarti membantu manusia menjadi dirinya,
sebagai essensial self yang berbeda
dari spesies manapun. Sementara, fungsi belajar diabadikan guna mendukung
aktualitas manusia sebagai makhluk rasional independen.
“Learning
to reason” demikian menurut istilah para perenialis. Pendidikan tidak lain
ialah belajar dalam berpikir. Perenialisme percaya bahwa asas pembentukan
kebiasaan dalam permulaan pendidikan anak. Kecakapan membaca, menulis, dan
berhitung merupakan landasan dasar. Berdasarkan penahapan itu, learning to reason menjadi hal pokok
pendidikan menengah ataupun pendidikan tinggi.
Selain
belajar berpikir, pendidikan menurut para perenialis, juga sebagai persiapan
hidup. Pandangan ini kerap disandarkan pada pemikiran Thomisme yang menyadari
bahwa belajar untuk berpikir dan belajar demi persiapan hidup (dalam
masyarakat) adalah dua langkah pada jalan yang sama dalam memperoleh
kesempurnaan hidup, baik dunia ataupun surgawi.
2. Tujuan
Bagi perenialis, nilai-nilai kebenaran
bersifat universal dan abadi. Inilah yang menjadi tujuan pendidikan yang
sejati. Oleh karena itu, tujuan pendidikan adalah membantu peserta didik
menyiapkan dan menginternalisasikan nilai-nillai kebenaran dan kebaikan dalam
hidup.
Sekolah adalah sebuah institusi khusus
yang berupaya mencapai misi yang amat penting ini. Sekolah tidak terlalu
berkepentingan dengan persoalan semacam pekerjaan, hiburan, dan rekreasi
manusia. Ketiga hal tersebut mempunyai tempat dalam kehidupan manusia, tetapi
berada di luar lingkup aktivitas pendidikan.
Sekolah adalah lembaga yang berperan
mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk terjun ke dalam kehidupan.
Sekolah bagi perenialis merupakan peraturan-peraturan yang artifisial tempat
peserta didik berkenalan dengan hasil yang paling baik dari warisan sosial
budaya.
3. Kurikulum
Kurikulum menurut kaum perenialis harus menekankan
pertumbuhan intelektual siswa pada seni dan sains. Untuk menjadi terpelajar
secara kultural, para siswa harus berhadapan dengan bidang-bidang seni dan
sains yang merupakan karya terbaik dan paling signifikan yang diciptakan oleh
manusia.
Kurikulum perenialis Hutchins didasarkan pada tiga
asumsi mengenai pendidikan yaitu :
a.
Pendidikan harus
mengangkat pencarian kebenaran manusi yang berlangsung terus menerus. Kebenaran
apapun akan selalu benar dimana pun juga; pendek kata kebenaran bersifat
universal dan tak terikat waktu/
b. Karena kerja pikiran adalah bersifat intelektual dan
memfokuskan pada gagasan-gagasan, pendidikan juga harus memfokuskan pada
gagasan-gagasan. Pengolahan rasionalitas manusia adalah fungsi penting
pendidikan.
c. Pendidikan harus menstimulasi para mahasiswa untuk
berfikir secara mendalam mengenai gagasab-gagasan
signifikan. Para guru harus menggunakan pemikiran yang benar dan kritis seperti
metoda pokok mereka, dan mereka harus mensyaratkan hal yang sama pada siswa.
4. Prinsip
pendidikan
Beberapa
prinsip pendidikan parenialisme secara umum yaitu :
a. Walaupun perbedaan lingkungan, namun pada hakikatnya
manusia dimana pun dan kapan pun ia berada adalah sama. Robert M.Hutckin
sebagai pelopor perenialisme di Amerika Serikat, mengemukakan bahwa manusia
pada hakikatnya adalah hewan rasional (ini adalah pandangan Aristoteles).
Tujuan pendidikan adalah sama dengan tujuan hidup, yaitu untuk mencapai
kebijakan dan kebajikan. Pendidikan harus sama
bagi semua orang, dimana pun dan kapan pun ia berada, begitu pula tujuan
pendidikan harus sama, yaitu memperbaiki manusia sebagai manusia.
b. Rasio merupakan atribut manusia yang paling tinggi.
Manusia harus menggunakannya untuk mengarahkan sifat bawaannya, sesuai dengan
tujuan yang ditentukan. Manusia adalah bebas, namun mereka harus belajar, untuk
memperhalus pikiran dan mengontrol seleranya. Apabila anak gagal dalam belajar,
guru tidak boleh dengan cepat meletakkan kesalahan pada lingkungan yang tidak
menyenangkan atau pada rangkaian peristiwa psikologis yang tidak menguntungkan.
Guru harus mampu mengatasi semua gangguan tersebut dengan melakukan pendekatan
secara intelektual yang sama bagi semua siswa. Tidak ada anak yang diizinkan untuk
menentukan pengalaman pendidikannya yang ia inginkan.
c. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang
kebenaran yang pasti dan abadi. Kurikulum diorganisasi dan ditentukan terlebih
dahulu oleh orang dewasa dan ditujukan untuk melatih aktivitas akal, untuk
mengembangkan akal. Anak harus diberi pelajaran yang pasti, yang akan
memperkenalkannya dengan keabadian dunia. Anak
tidak boleh dipaksa untuk memperlajari pelajaran yang tampaknya penting
suatu saat saja. Begitu pula kepada anak jangan memberikan pelajaran yang hanya
menarik pada saat-saat tertentu yang khusus. Yang dipentingkan dalam kurikulum
adalah mata pelajaran “general education”, yang meliputi bahasa, sejarah,
matematika, IPA, filsafat dan seni. Mata pelajaran tersebut merupakan esensi dari
general education.
d. Pendidikan bukan merupakan peniruan dari hidup,
melainkan merupakan suatu persiapan untuk hidup. Sekolah tidak parnah menjadi
situasi kehidupan yang nyata. Sekolah bagi anak merupakan peraturan-peraturan
yang artifisial dimana ia berkenalan dengan hasil yang terbaik dari warisan
social budaya.
e. Siswa seharusnya mempelajari karya-karya besar dalam
literatur yang menyangkut sejarah, filsafat, seni, begitu juga dalam literature
yang berhubungan dengan kehidupan social, terutama politik dan ekonomi. Dalam
literatur-literatur tersebut manusia sepanjang masa telah melahirkan hasil yang
maha besar.
Dalam pemikiran itu,
untuk
mengatasi dan mengembalikan keadaan krisis yang terjadi sekarang ini,
perenialisme memandang bahwa jalan keluar tidak lain adalah kembali pada
kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya.
Untuk itulah, pendidikan sekarang harus
lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan masa lampau yang
ideal serta telah teruji dan tangguh. Dengan kata lain, perenialisme memiliki
pandangan yang bertolak (anti-) terhadap modernistik yang telah menjauh dari
tradisi (kebiasaan-kebiasaan yang telah teruji ketangguhannya) dan terlalu
mengedepankan logika dan rasio modernistik daripada sumber pengetahuan lainnya
serta terlalu memandang sesuatu berdasarkan materi (materialistik).
Jelaslah jika dikatakan bahwa pendidikan
yang ada sekarang ini perlu kembali pada masa lampau karena dengan
mengembalikan keadaan (apa yang ada, apa yang terjadi, serta apa yang menjdi
tujuan) pada masa lampau, kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi
melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan
sekarang.
5. Metode
Pendidikan Perenialisme
Metode pendidikan atau metode belajar
utama yang digunakan oleh perenialis adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca
dan mendiskusikan karya-karya yang tertuang dalam The Greats Book dalam rangka mendisiplinkan pikiran.
Peranan guru bukan sebagai perantara
antara dunia anak dan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai “murid” yang
mengalami proses belajar sementara mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi
self discovery. Ia juga melakukan moral authority (otoritas moral) atas
murid-muridnya karena ia seorang profesional dan qualified dan superior
dibandingkan dengan muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih, dan
pengetahuan yang sempurna.
6. Potret
guru
Kerap
dikatakan bahwa pendidikan tidak lain adalah learning through teaching (belajar melalui pengajaran). Adler
membedakan antara learning by instruction
dan learning by discovery,
penyelidikan tanpa bantuan guru. Sebenarnya, learning by discovery digunakan sebagai pembelajaran diri.
BAB III KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan diatas dapat
disimpulkan bahwa :
1.
Progresivisme merupakan
aliran filsafat yang bermuara pada aliran pragmatisme yang diperkenalkan oleh
William James (1842-1910) dan Jhon Dewey (1959-1952), yang menitik beratkan segi
“manfaat bagi hidup praktis”. Filsafat progresivisme menuntut pada pengikutnya
untuk selalu progress (maju) bertindak secara konsttruktif, inovatif dan
reformatif, aktif dan dinamis.
2.
Istilah perenialisme
berasal dari bahasa latin, yaitu dari akar kata perenis atau perenial
(bahasa Inggris) yang berarti tumbuh terus melalui waktu, hidup terus dari
waktu ke waktu atau abadi. Maka pandangan perenialisme selalu mempercayai mengenai adanya
nilai-nilai, norma-norma yang bersifat abadi dalam kehidupan ini. Perenialisme
lahir sebagai suatu reaksi dan solusi terhadap pendidikan progresif dan atas
terjadinya suatu keadaan yang mereka sebut sebagai proses kebudayaan dalam
kehidupan manusia modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar